Sabtu, 20 Agustus 2011

Menyoal Sekolah "Bertarif" Internasional

Menyoal Sekolah "Bertarif" Internasional

Oleh: Meylina Suherdanti

Pendidikan merupakan kunci keberhasilan setiap negara. Negara yang memerhatikan kualitas dan kuantitas pendidikannya akan lebih maju daripada negara yang kurang memerhatikan sektor pendidikannya. Peran pendidikan dalam hal ini adalah menghasilkan sumber daya manusia yang berdaya guna bagi bangsa dan negara yang pada akhirnya berdampak positif pada kemajuan negara tersebut di berbagai bidang.

Sebagaimana penjelasan arti pendidikan pada UU Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 yang berbunyi, “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.” Pengertian ini cukup memberi kesimpulan bahwa pembangunan pendidikan berpengaruh positif terhadap kemajuan bangsa.

Akan tetapi, jika kenyataan berkata sebaliknya atau pembangunan pendidikan justru dianaktirikan, kenyataan tersebut bisa diartikan sebagai kunci kegagalan suatu negara. Realita kondisi Indonesia bisa menjadi cermin kegagalan pendidikan yang berujung pada kegagalan suatu negara. Berdasarkan majalah AS, Forbes Policy, Indonesia termasuk dalam kategori negara yang gagal pada 2007. Kegagalan ini menjadi akibat dari sebab belum dijadikannya pendidikan sebagai prioritas utama agenda pembangunan bangsa. Para pemimpin negeri ini terlalu sibuk dengan proyek pribadi dan membuat dagelan politik. Terlebih, membuat drama diskursus politik yang membuat rakyat makin jengah.

Satu permasalahan pokok pendidikan negeri ini adalah mengenai pemerataan akses pendidikan. Banyaknya berbagai jenjang pendidikan formal belum disentuh utuh oleh semua golongan masyarakat. Pendidikan formal seakan makin menjauh dari masyarakat kecil. Tarif bea masuk sekolah yang tinggi menjadi pemicu jauhnya jarak masyarakat kecil dengan lembaga pendidikan formal. Tidak ada bedanya sekarang sekolah negeri atau swasta, perbedaan yang ada adalah sekolah untuk orang kaya, sekolah untuk orang menengah, dan sekolah untuk orang miskin. Gejala segregasi sosial dalam lingkup pendidikan ini bisa terlihat dari munculnya Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Satu dari produk kebijakan pendidikan kita yang merupakan efek dari paham kapitalisme.

Efek Kapitalisme terhadap Pendidikan
Di dalam buku Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia, Hasyim Wahid menjelaskan bahwa pendidikan di Indonesia sedang berada pada pengaruh dan belenggu kapitalisme global. Pendidikan Indonesia berada dalam hegemoni pihak asing yang lebih kuat secara ideologi dan modal. Karakter kapitalisme ini bisa dilihat dari munculnya semangat ideologi kompetisi yang menyaratkan semua pihak untuk saling berkompetisi mendapatkan pendidikan dengan segala cara. Selanjutnya ialah liberalisasi pendidikan yang melegalkan pandangan bahwa untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas harus mengeluarkan uang banyak.

Layaknya sebuah barang yang dapat diperjualbelikan di pasar secara bebas, seakan-akan pendidikan dapat dipesan menurut kemampuan modal ekonomi masing-masing individu. Bagi para pemegang rupiah yang kuat, ia dapat menikmati sesuai dengan kelasnya. Namun bagi orang kecil yang tak berduit, janganlah berharap mendapatkan pendidikan yang berkualitas, dapat sekadar mengisi perut pun sudah untung. Pendidikan tidak lagi dalam posisi netral, bebas, dan bersih dari segala kepentingan, justru ia semakin “dipeluk mesra” oleh sebuah kekuatan besar yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas bebas dalam proses jual beli.

Terdapat sebuah permainan politik yang dimainkan oleh segelintir orang yang berideologi pasar terhadap para pemangku kebijakan pendidikan. Dengan begitu, menjadi sangat naif menurut jalan pemikiran penulis jika pendidikan yang telah bersifat kapitalis, diskriminatif, dan sektarian tersebut dapat menjadi agen pembebas. Agen yang memerdekakan bangsa dari jeratan kemiskinan untuk menuju tatanan bangsa yang berkeadilan dan maju dalam setiap lini kehidupannya.

Fenomena menjamurnya sekolah berlabel “Standar Internasional” mulai dari tingkat dasar hingga tinggi menjadi salah satu contoh pendidikan kini dalam cengkeraman kapitalisme. Sekolah Bertaraf Internasional ini menerapkan aturan pembayaran dengan harga yang selangit bagi para peserta didiknya. Kurikulum yang digunakan ialah standar internasional dengan pembebanan banyaknya pelajaran dan tugas yang berat. Belum lagi kebudayaan asing yang turut terlibat di dalamnya, life style yang didominasi oleh kebudayaan Barat. Pendidikan moral dikesampingkan dan menekankan pada kemampuan perkembangan otak belaka. Semua pertumbuhan yang dilihat hanya dari sisi material. Dan, hal ini semakin dilegalkan dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 77 tahun 2007, saat pendidikan dapat dimasuki oleh investasi dan modal asing.

Telaah Kritis SBI
Ihwal kehadiran Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) ini dilandasi oleh UU 20/2003 Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.” Berbekal ayat ini, Kemendiknas kemudian mengeluarkan program SBI yang proyek rintisannya telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan miliar.

Berdasarkan data Kemendiknas, dalam kurun waktu 2005-2007 jumlah sekolah rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 749 sekolah. Rincian sekolah itu adalah TK/SD/MI rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 141 sekolah, SMP/MTs rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 170 sekolah, SMA/MA rintisan atau bertaraf internasional mencapai 259 sekolah, dan SMK rintisan atau sudah bertaraf internasional mencapai 179 sekolah. Pada dasarnya, SBI ini adalah sekolah berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dengan taraf internasional. Tujuannya adalah membangun lulusannya berkemampuan daya saing internasional.

Aspek-aspek yang dikembangkan pada SBI adalah standar kompetensi lulusan, kurikulum, pengajaran, sumber daya manusia, fasilitas, manajemen, pembiayaan, dan penilaian berstandar internasional. Standar kompetensi lulusan SBI adalah keberhasilan lulusan yang melanjutkan ke sekolah internasional dalam negeri maupun di luar negeri dengan keterampilan dan prestasi akademiknya. Selain itu, SBI juga dituntut untuk melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, baik secara individual, kelompok/kolektif (lokal, nasional, regional, dan global) dengan bukti ada piagam kerja sama atau MOU yang dilakukan oleh lulusan.

Kemudian, memiliki dokumen lulusan tentang karya tulis, persuratan, administrasi sekolah, penelitian, dalam bahasa asing atau dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Memiliki dokumen dan pelaksanaan, pengelolaan kegiatan belajar secara baik dari lulusan, menguasai budaya bangsa lain, memiliki dokumen karya tulis, nilai, tentang pemahaman budaya bangsa lain dari lulusan. Memiliki pemahaman terhadap kepedulian dengan lingkungan sekitar sekolah, baik lingkungan sosial, fisik maupun budaya, memiliki berbagai karya-karya lain dari lulusan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, bangsa, dan terdapat usaha-usaha dan atau karya yang mencerminkan jiwa kewirausahaan.

Namun, di tengah berjalannya SBI ini, terdapat sorotan kritis yang perlu menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran bersama. Pertama, tidak meratanya kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu. Hal ini disebabkan sekolah yang berstatus SBI adalah sekolah berkategori favorit yang bisa dipastikan mutunya di atas sekolah yang ada di sekitarnya. Kesempatan yang dimiliki oleh siswa miskin untuk mengikuti pendidikan di SBI sangat terbatas disebabkan terkendala oleh besarnya biaya pendidikan. Hal ini menyebabkan mereka beralih kepada sekolah-sekolah pinggiran dengan biaya murah dan mutunya kalah dengan SBI. Sehingga kesan bahwa SBI hanya dihuni oleh orang yang berduit tidak bisa terhindarkan.

Kedua, memperkuat munculnya segregasi sosial antara kaya dan miskin. Tentunya kita sudah maklum bahwa kebanyakan yang bisa masuk SBI adalah anak-anak orang yang berduit, mengingat biayanya begitu besar. Mungkin pemerintah akan membantah dengan mengatakan bahwa semua siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk bisa masuk di SBI. Namun, dengan biaya yang sangat besar, fakta akan berbicara lain. Tidak mungkin siswa yang berasal dari keluarga miskin mampu membayar uang sumbangan dan SPP yang begitu besar.

Akibatnya, orang yang mempunyai uang yang bisa mengikuti pendidikan bermutu dan si miskin tetap dalam kemiskinannya dan tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah yang bermutu. Mana ada sekolah gratis, yang ada hanya SPP yang bersubsidi pemerintah. Bila hal ini dibiarkan maka akan terjadi kesenjangan kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang bermutu antara masyarakat. Dalam istilah Darmaningtyas, dampak SBI ini adalah terjadinya kastanisasi pendidikan. Hal ini bisa mengancam integrasi sosial di dalam masyarakat.

Ketiga, mengancam eksistensi penggunaan bahasa Indonesia beserta terbiasanya dengan pola kehidupan Baratisme. Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran sedikit demi sedikit akan mengikis penggunaan bahasa Indonesia. Para siswa secara otomatis akan lebih terfokus untuk menguasai bahasa Inggris secara baik dan benar ketimbang menguasai bahasa Indonesa yang baik dan benar.

Keempat, munculnya tenaga pendidik (baca: guru) yang tidak memiliki jiwa kependidikan untuk mengajar. Guru kurang dalam mencerdaskan dan menumbuhkan kepribadian siswa yang cinta pada tanah airnya. Realita yang menjamur ialah, ditariknya sarjana-sarjana lulusan perguruan tinggi di luar negeri menjadi guru di SBI, bahkan guru “bule” sekalipun jika perlu demi mendongkrak nama sekolah tersebut. Padahal, belum tentu sang sarjana memiliki modal penting mengenai kejiwaan, kepribadian, dan budaya yang dimiliki bangsa ini. Modal kecerdasan intelektual saja tidak cukup untuk menjadi pendidik yang bisa menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap tanah air juga memberikan penanaman nasionalisme dan patriotisme yang tinggi kepada anak didik.

Penanaman nasionalisme ini menjadi hal yang penting di era kapitalisme global ini. Seperti yang diutarakan H.A.R. Tilaar dalam artikelnya Kebijakan Pendidikan yang dijiwai Kebangkitan Nasional, bahwa kekuatan global yang berbentuk kolonialisme ide, kolonialisme budaya, dan kolonialisme ekonomi global hanya dapat diatasi melalui menggelorakan kembali rasa kebangsaan nasional untuk mengatasi kemiskinan melalui penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, kerja keras, dan persatuan bangsa.

Oleh karena itu, pendidikan yang selayaknya ditumbuhkan adalah pendidikan yang terus-menerus mengembangkan watak bangsa yang baik, pemupukan rasa percaya diri untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh rakyat. Dengan kata lain, yang diperlukan adalah pendidikan nasional, bukan pendidikan global. Pendidikan nasional yang berorientasi global yang bertumpu pada kebanggaan nasional, nasionalisme yang sehat, persatuan Indonesia yang didasarkan pada kebhinekaan budaya Indonesia.

Persoalan SBI di atas semestinya menjadi perhatian serius pemerintah untuk meramu solusi yang tepat dan bijak. Pilihan yang tepat bagi pemerintah jika ingin meningkatkan mutu pendidikan nasional adalah memerhatikan sekolah-sekolah yang mutunya rendah dan terpinggirkan, termasuk sekolah swasta yang telah mempunyai andil besar bagi kemajuan pendidikan bangsa kita. Sekolah swasta ini tetap hidup, meskipun pemerintah belum mampu menyediakan sarana pendidikan. Sekolah-sekolah semacam ini banyak dihuni oleh orang-orang miskin yang berpenghasilan rendah.

Perhatian pemerintah seharusnya terfokus untuk mengangkat sekolah yang mutunya rendah agar mampu bersaing dan bermutu. Peningkatan mutu pendidikan memang harus dilakukan di semua jenjang. Namun, jangan sampai menimbulkan kelas-kelas sosial dan kesenjangan baru di dalam masyarakat. Jangan sampai model pendidikan masa kolonial Belanda terulang lagi di zaman ini.


----------------------

Meylina Astri, Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Koperasi UNJ. Selama di LKM pernah memegang amanah sebagai staff Divisi Penulisan (2008-2009) dan Staff Departemen PSDM (2009-2010). Saat ini aktif sebagai staff ADM dan BAAK UNJ.

*)Dikutip dari Buku Restorasi Pendidikan Indonesia oleh Tim Kreatif LKM UNJ (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar