Jumat, 23 Januari 2009

REMEDI TANPA AKHIR

REMEDI TANPA AKHIR

(Awal Pembodohan Bangsa)

Rencana pemerintah lewat Departemen Pendidikan yaitu : Peraturan agar semua anak didik harus tuntas dalam nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) merupakan blunder yang sangat berbahaya bagi kelangsungan dunia pendidikan di Indonesia. Mengapa bisa begitu? Awalnya program ini untuk merespon tuntutan dunia Perguruan Tinggi, yaitu Penerimaan Mahasiswa baru lewat jalur PMDK, Jalur Prestasi dan jalur-jalur khusus lainnya (bukan lewat jalur umum seperti SPMB/UMPTN dll) yang mensyaratkan bahwa siswa-siswa yang ingin menempuh jalur-jalur tersebut tidak mempunyai nilai yang tidak tuntas atau di bawah KKM sejak semester 1 atau kelas X.

Bila dilihat dari sisi Perguruan Tinggi yang mengajukan syarat yang sebegitu ketatnya maka bisa diambil sisi yang sangat positif yaitu Perguruan Tinggi mengharapkan input yang bermutu dari sma-sma sehingga nantinya juga bisa dihasilkan lulusan yang berkualitas tinggi juga. Selain itu juga, sebagai proses seleksi alam untuk menyaring yang benar-benar terbaik. Seperti yang kita ketahui SPMB, UMPTN ataupun SNMPTN apapun namanya yang merupakan jalur umum keberuntungan adalah faktor yang dominan apalagi diimbuhi dengan faktor perjokian menambah kurang fairnya persaingan lewat jalur umum.

Niat baik belum tentu berakhir dengan baik pula. Yang patut disayangkan adalah reaksi balik dari dunia pendidikan di bawahnya yang dalam hal ini adalah sma. Tuntutan dari perguruan tinggi disiasati dengan jalan mengadakan remedi berulang sampai siswa mendapatkan nilai yang sesuai KKM atau mendapatkan predikat tuntas dengan dalih agar semua siswa mendapatkan hak dan kesempatan yang sama. Hal ini disamping memberatkan bapak/ibu guru juga menjadikan anak sebagai korban, terlebih lagi perguruan tinggi juga akn merasa tertipu karena mendapatkan input yang tidak sesuai dengan standar kriteria yang ditetapkan.

Mengapa dikatakan memberatkan bapak ibu guru, alasannya adalah pemberian remedi berulang-ulang akan membuat guru berpikir dua kali untuk memberikan nilai sejujurnya kepada siswa. Kenapa? Jujur hal seperti itu hanya menambah beban pengajar karena disamping pemberian remedial test kita juga wajib memberikan remedial teaching sebelumnya, sedangkan kita dituntut agar terus menyampaikan materi lanjutan bagi siswa-siswa lain yang telah tuntas. Maka jalan singkatnya adalah dengan berat hati guru akan memberikan nilai tuntas kepada murid-muridnya (dengan pengecualian satu atau dua siswa dibuat remedi agar nilai terlihat wajar). Anak didik juga akan menjadi korban selanjutnya, dimungkinkan karena nilainyan tuntas semua maka proses penentuan jurusan akan menjadi absurd atau tidak jelas. Hal ini tentunya akan menyulitkan anak di kemudian hari. Bagi anak yang potensi dan minatnya ke ilmu sosial tapi terpaksa menempuh jalur ilmu alam atau sebaliknya entah karena motivasi sendiri ataupun pengaruh dari orang lain (biasanya menuruti keinginan orang tua) tanpa melihat kemampuan anak akan merasa tersiksa dan menyesal karena pilihannya yang salah. Selanjutnya perguruan tinggi akan merasa kecewa karena ternyata nilai-nilai yang disodorkan ketika mendaftar tidak sesuai dengan kenyataan kemampuan siswa.

Pada akhirnya marilah kita bijak dalm merespon segala hal dan tidak grusa-grusu menyikapi keadaan. Yang paling utama dalam usaha meningkatkan kualitas pendidikan bangsa Indonesia secara umum adalah berusaha untuk menerapkan dan mendidik kejujuran bagi semua anak didik dan hal tersebut akan sangat mudah dilaksanakan jika ”Mulai dari diri kita sendiri, mulai dari sekarang dan mulai dari hal yang paling mudah”

2 komentar:

  1. sangat setuji, karena remidi tanpa akhir hanya akan membuat siswa tidak berusaha belajar karena menggampangkan tes karen berpikir remidi akan selalu ada

    BalasHapus
  2. jujur pasti mujur, jika ingin memperbaiki kualitas pendidikan maka jujurlah pada saat ulangan

    BalasHapus