Selasa, 02 Februari 2010

Guru yang benar-benar guru

Ukuran keberhasilan pendidikan yang digunakan sederhana, yaitu apakah bahan pelajaran telah disampaikan sesuai dengan target, metode yang benar, dan kemudian para siswa berhasil menjawab soal-soal ujian, baik ujian sekolah maupun ujian nasional. Jika para siswa berhasil menguasai pelajaran itu dan bisa menjawab soal ujian, maka tugas guru dianggap sukses dan selanjutnya dikatakan bahwa sekolah itu baik dan unggul.
Para siswa dari sekolah itu dianggap unggul, karena paling tidak, mereka berhasil diterima di lembaga pendidikan pada jenjang berikutnya. Pertanyaannya, apakah mereka yang dianggap unggul itu sekaligus juga unggul kepribadiannya. Ternyata tidak selalu demikian. Sebagai contoh sederhana, tatkala diselenggarakan ujian masuk perguruan tinggi negeri, para panitia juga disibukkan oleh gangguan adanya joki di mana-mana.
hal ini membuktikan bahwa transfer ilmu dari guru ke murid sangat berhasil, akan tetapi Guru tidak boleh dimaknai sebatas orang yang bertugas menerangkan isi kurikulum yang telah terjabarkan dalam buku teks atau bahan ajar. Guru bukan hanya sebatas orang yang bertugas di depan kelas untuk menjadi juru bicara buku atau materi pelajaran. Begitu pula, sukses tidaknya guru tidak hanya diukur dari apakah isi bahan pelajaran telah berhasil diterangkan dengan jelas kepada para murid.
Demikian pula ukuran terhadap lembaga pendidikan. Sukses tidaknya lembaga pendidikan semestinya tidak hanya diukur dari besarnya prosentase kelulusan para siswanya tatkala mengikuti ujian nasional. Apalagi hanya dilihat dari para siswanya bisa berhasil menjawab soal-soal ujian dengan benar. Jika hanya demikian tugas guru, maka sesungguhnya telah terjadi reduksi makna pendidikan yang sebenarnya. Tugas guru sebetulnya bukan hanya sebatas itu, walaupun akhir-akhir ini yang terjadi adalah demikian itu.
mengutip pandangan Bloom, menyadari bahwa pendidikan semestinya harus menjangkau tiga ranah sekaligus, yaitu ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif. Mereka mengatakan bahwa jika hanya salah satu aspek yang berhasil dijangkau, maka dianggap kurang lengkap. Tetapi anehnya, dalam praktek pendidikan, mereka puas sekalipun hanya menyentuh aspek kognitif saja.
Jika pendidikan diharapkan tidak hanya berhasil menstransfer pengetahuan, melainkan lebih dari itu, ialah mentransfer kepribadian, maka yang justru memegang peran strategis adalah guru. Guru harus dipilih dari orang-orang yang benar-benar matang kepribadiannya, memiliki tanggung jawab, kompeten sebagai guru, memiliki integritas yang tinggi terhadap tugas-tugasnya. Guru bukan hanya sebagai pekerja atau pegawai untuk mendapatkan gaji. Guru harus benar-benar berjiwa guru.
Kematangan kepribadian tidak bisa diukur dengan umur, faktanya adalah semakin berumur guru semakin focus hanya untuk mentransfer ilmu tanpa disertakan transfer kepribadian dan karakter (semoga hanya sedikit yang seperti ini). Padahal dengan peran guru yang sangat menentukan karakter murid diharapkan guru bisa menjadi ujung tombak filter pengaruh budaya pop yang mereduksi karakter asli bangsa.
Dengan berbagai motivasi dan dalih, guru sanggup menutup mata untuk juga mentransfer kepribadian dan karakter muridnya. Contohnya dalam soal memberikan nilai. Banyak nilai yang didasarkan bukan pada kemampuan anak tapi factor- factor lain, yaitu:
• Supaya anak didiknya setelah lulus bisa mendapatkan sekolah atau perguruan tinggi yang favorit atau bergengsi
• Karena alasan kekerabatan, kolega atau anaknya orang yang berpengaruh
. Harapan jika memberikan nilai yang bagus maka dikemudian hari anaknya sendiri akan mendapatkan bantuan nilai
• Dll

Semoga ini bisa menjadi renungan kita bersama yang berkompeten dalam dunia pendidikan. Tak lupa peran orang tua di rumah memegang peran penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian sang anak.

Disarikan dari:
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1301:jika-guru-hanya-sebatas-mentransfer-pengetahuan&catid=25:artikel-rektor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar