Kamis, 24 Juni 2010

Multiple Intelligence

Kecerdasan Ganda dari Howard Gardner – aplikasinya dalam sebuah Pendidikan Anak Usia Dini-
Ester cemberut saat keluar dari kelas B-1 sebuah Taman Kanak-Kanak yang cukup terkenal. Tidak biasanya dia memasang muka kusut seperti hari ini. Ester anak yang ceria dalam perilaku sehari-hari, kecerdasan interpersonalnya sangat menonjol sehingga Ester lebih sering diberi tugas oleh Bu Tin guru kelasnya. Hampir semua orang yang melihat memuji setiap bagian anggota tubuhnya yang nyaris sempurna. Anak sekecil ini sudah menunjukkan cikal bakal kecantikan dikemudian hari. Lesung pipit selalu menghiasi wajah mungilnya saat dia menjawab sapaan teman atau orang-orang tua iseng disekitarnya. Rambut hitam bergelombang bak mayang mengurai laksana putrid kraton Ngayogyakarta Hadi Ningrat. Singkat cerita Ester kecil menjadikan banyak anak sebayanya iri. Komunitas mamah penjemput disekolahan tersebutpun ikut iri melihat Ester kecil penuh talenta.


Tapi mengapa pada hari Rebo legi ini, Ester kehilangan semuanya. Dia berubah menjadi makhluk lain yang tidak pernah ada di sekolahan tersebut. Ester cemberut dengan bibir maju kurang lebih 2 cm lebih 3 mm. Tas ranselnya ditarik di atas lantai sebagai tanda kepada orang disekitar bahwa dia sedang tidak mood. Yang lebih parah lagi butiran air di pojok kedua matanya hampir jatuh. Butiran air ini menandakan ada satu peristiwa yang sulid dia terima dan sungguh menyakitkan. Semua orang yang kebetulan mengetahui peristiwa itu sontak tanpa dikomando menanyakan ada apa gerangan sampai anak seperti Ester tertekan secara psikologis.
“Jatuh di mana Ester”
“Siapa yang bikin kamu cemberut anak manis”
“Wah cantik-cantik koq nangis” –emangnya nangis monopoli orang jelek-
Pertanyaan yang tidak perlu dijawab ini menjadikan Ester kecil semakin senewen sampai-sampai tidak tahan dengan cecaran pertanyaan yang tak berujung pangkal. Ketidak tahanannya ini dia tumpahkan menjadi sebuah suara yang tidak asing buat orang-orang tua yaitu “nangis”.
Sebetulnya ada apa dengan kejadian ini?
Hari Rebo legi ini kelas B-1 ada pelajaran matematika tingkat tinggi yaitu penjumlahan. Penjumlahan ini tidak seperti biasanya seperti 8 + 2 = 10. Sebuah penjumlahan yang dia tidak pernah tahu maknanya 4 + … = 8. “Apa pentingnya soal ini untuk kehidupannku” gumam Ester. Ester seorang anak yang sangat beruntung karena delapan kecerdasan yang dia miliki sempurna adanya. Dia selalu mengukur tinggi bibit kacang tanah yang dia tanam dipot depan kelasnya tiap hari. Dari hari ke hari Ester selalu menyanyikan lagu-lagu ABG yang memang tidak ada pilihan lagu-lagu lain seusianya. Dia lebih memilih lagu Ketahuannya Matta atau Sebelum Cahayanya Letto daripada Bintang kecil atau si Komo. Human relationshipnya sangat bagus terbukti dengan banyak temannya yang sering dia tolong. Singkat cerita Tuhan telah menganugerahkan semuanya untuk Ester. Tapi mengapa dia menangis hanya karena 4 + … = 8.
Soal diatas cukup sulid dicerna oleh anak seusia Ester. Gurunya mengatakan empat ditambah berapa sama dengan delapan. Hampir semua anak melakukan kesalahan yang menurut mereka benar tetapi salah menurut logika berfikir orang tua dan orang yang sudah tahu lebih dulu tentang penjumlahan di atas.
“Haruskah teman-teman harus bisa mengerjakan soal tersebut?”
“Bolehkah mereka tidak bisa mengerjakan soal tersebut?”
Dalam kebingungan menata hati menghadapi kenyataan pahit situasi kelas yang mulai tidak nyaman, dia dikejutkan dengan suara nyaring Bu Tin
“Jarinya mana … yang kiri 4 dan yang kanan berapa agar mejadi 8”
Rupanya Bu Tin telah kehilangan kesabarannya dan alam semesta sudah mulai tidak bersahabat lagi. Entah apa yang dipikirkan dan dikejar Bu Tin, sehingga dia rela membelenggu para siswa dengan suatu konsep abstrak tak bermakna dan harus dipahami dengan segera. Ester merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi ini
“Mengapa kami dimarahi, harusnya Bu Tin mengajarkan sampai kita tahu betul”.
Ester duduk terdiam dipojok kelas dengan hati tak menentu. Dia tidak tahu harus mengadu kesiapa, harus berkata apa dan harus bersikap bagaimana. Sampai bel pulang sekolah berbunyi dengan lantang mengakhiri neraka kelas TK B-1. Semua anak bersorak riang gembira menyambut pahlawan dalam wujud bel yang tepat di depan kelas mereka. Dengan serta merta kejadian memilukan yang baru saja terjadi hilang seketika seiring dengan menghilangnya bunyi bel. Namun tidak demikian yang dirasakan Ester, dia tetap tidak bisa menerima perlakuan Bu Tin di dalam kelas. “Bukankah Bu Tin belum pernah mengajar dengan benar soal tersebut, tapi mengapa dia menuntut kami harus benar mengerjakan soal itu”
Potret buram pendidikan dasar Negara kita telah memporak porandakan masa depan anak-anak kita. Mengapa materi-materi yang seharusnya belum diberikan ke anak dipaksakan diberikan ke anak. Dari sisi orang tua mungkin akan merasa bangga jika anaknya yang masih berumur 2 tahun sudah bisa melakukan penjumlahan. Bahkan umur 1 tahun sudah mulai sekolah. Lha anak-anak ini bisa apa, mereka hanya menuruti kemauan orang tua saja tanpa bisa berbuat apa-apa. Seandainya mereka bisa berontak mereka akan berontak dengan sekuat tenaga. Dengan dalih jaman sekarang semakin cepat anak sekolah berarti akan semakin cepat pandai dan semakin cepat tahu segalanya, maka banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dan diserahkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar