Kamis, 21 Januari 2010

NYONTEK : Di Sekolah dan Dunia Nyata


        Seringkali apa yang kita pelajari di bangku sekolah tidak bermanfaat di dunia nyata. Waktu SD kita mungkin pernah disuruh oleh Bapak/Ibu Guru untuk menghapal seluruh pasal UUD 1945 dan butir-butir pancasila. Sulitnya bukan main. Apakah kemudian hapalan ini berguna saat kita berhadapan dengan dunia nyata?
         Boro-boro masih hapal. Bagi yang memutuskan karir sebagai politisi atau guru PKn mungkin berguna. Di luar profesi tadi tentu saja hapalan tadi tidak akan bermanfaat. Di dunia nyata, jika kita ditanya tentang pasal tertentu pada UUD 1945, kita cukup pergi ke perpustakaan atau toko buku untuk mencarinya. Kalau mau lebih cepat lagi, tinggal ketik “UUD 1945” di Google Search. Beres kan?
Sistem Ujian


        Ujian pada sekolah formal biasanya dilakukan secara closed-book dan secara individu di akhir periode (misalnya caturwulan, semester atau tahunan). Nyontek sangat diharamkan.
Padahal di dunia nyata, kita boleh mencari sumber dari manapun dan bekerjasama dengan siapapun. Nyontek malah dianjurkan.
Memang ada masalah baru jika ujian boleh dilakukan secara bersama dan open book. Bagaimana guru bisa menilai dengan objektif? Inilah yang harus dipecahkan bersama.
Sistem ujian selama ini memang memudahkan guru untuk memeriksa hasil ujian. Waktu ujian juga relatif singkat. Jika setiap semester, siswa harus presentasi di depan guru dan teman-temannya, misalnya, tentu waktu yang dibutuhkan untuk ujian sangat panjang.
Adi W Gunawan dalam websitenya mengatakan bahwa sistem ujian saat ini hanya menggunakan salah satu kekuatan siswa yaitu, me-recall informasi yang pernah ada. Siswa hanya dituntut untuk mengeluarkan kembali apa yang pernah diketahuinya. Siswa tidak dituntut untuk mencari pengetahuan atau jalan baru.
Dalam dunia santri, akan sangat bangga misalnya jika ada yang bisa menghapal Alfiyah Ibnu Malik. Padahal, jika dilihat kontribusinya terhadap ilmu pengetahuan, relatif tidak ada. Kalau untuk sekedar gaya-gayaan bolehlah.
Sementara, di dunia nyata, kita dituntut untuk menemukan sebuah jalan, hubungan, atau keterkaitan. Tidak perlu baru sama sekali memang. Minimal, ada nilai tambahnya. Tung Desem Waringin menyingkatnya dengan ATM, Amati, Tiru dan Modifikasi.
Kolaborasi
        Pada sebuah sekolah bisnis, pelajaran secara berkelompok sudah diterapkan. Tidak saja ujian semesteran, bahkan tugas akhir pun dilakukan secara berkelompok. Bagi sebagian kalangan pendidikan, tugas akhir berkelompok ini dianggap kurang “keren”, karena siswa dianggap bisa berlindung di balik kelompoknya. Padahal, di dunia kerja, rasanya sangat sulit melakukan semua pekerjaan sendirian. Apa yang bisa didelegasikan ke bawahan, mengapa tidak? Jika bisa di-outsource, mengapa tidak? Memang tidak semuanya bisa dilakukan bersama. Ada hal-hal tertentu yang membutuhkan keputusan individu, tetapi tentu saja masih bisa menyontek dari pemimpin lain.
Beberapa sekolah, terutama yang berwawasan internasional, mulai menerapkan sistem belajar koloboratif ini. Menurut yang saya dengar dari Jamil Azzaini, di sekolah anaknya yang masih SD, pelajaran seperti ini sudah diterapkan. Misalnya saja, siswa diberi sebuah proyek untuk melaksanakan sebuah bisnis mirip bisnis dunia nyata.
Siswa diberi tanah di suatu tempat secara berkelompok. Mereka harus memaksimalkan potensi tanah ini untuk menghasilkan uang. Di kelompok mereka masing-masing, setiap siswa melakukan urun rembuk untuk menentukan tanaman apa yang akan mereka budidayakan. Setelah ketahuan jenis tanamannya, mereka lalu menghitung berapa investasi yang mereka perlukan dan berapa lama investasi tersebut bisa kembali. Di sini, pelajaran matematika akan terlihat manfaatnya oleh siswa.
Setelah kalkulasi dibuat, siswa harus mempresentasikan proposal mereka kepada para investor. Tentu saja, untuk membuat investor tertarik, diperlukan proposal yang menarik. Di sini, siswa harus belajar Power Point dan teknik presentasi. Pelajaran TIK dan Seni Rupa bisa bermanfaat dalam proses ini. Begitu juga dengan pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Selanjutnya, bagaimana siswa bisa meyakinkan investor? Hal ini merupakan pelajaran yang sangat bermanfaat di dunia kerja. Kemampuan persuasif ini tidak bisa diajarkan melalui buku dan dibaca tanpa praktek, persis seperti belajar naik sepeda atau berenang.
Tentu saja, meyakinkan investor tidaklah semudah yang dikira. Perlu banyak investor yang harus mendengarkan presentasi mereka. Dari sini siswa dapat belajar bagaimana menghadapi penolakan dan kegagalan. Padahal, bagi sebagian orang, berbicara di depan umum merupakan ketakutan nomor satu.
Setelah ada investor yang bersedia mendanai proyek ini mereka juga harus mencari petani yang akan mengerjakan proyek ini. Di sini manajemen sumber daya manusia dibutuhkan. Wah hebat sekali anak-anak ini. Kecil-kecil sudah belajar manajemen SDM.
         Di sekolah anak bos saya di daerah Cibubur, siswa kelas 4 SD sudah bisa membuat buku. Mereka mencari bahan dari perpustakaan dan internet. Karena sekolahnya internasional, buku tersebut mereka tulis dalam bahasa Inggris. Wah, anak-anak ini tentu lebih siap menghadapi masa depannya dibanding anak-anak lain.
Saya jadi ingat ketika Gerard R Ford ditanya tanggapannya tentang seorang jago kuis yang selalu menang, berhasil menjawab pertanyaan dan memperoleh hadiah yang lumayan besar. Apa jawaban dia saat itu?
“Saya tidak akan merekrutnya menjadi karyawan saya. Bagi saya, nilainya Cuma USD 100. Dengan uang segini saya bisa membeli sebuah ensiklopedi yang lengkap. Saya bisa mencari semua jawaban di sana.”
Demikianlah, bagi sekolah yang mulai menerapkan pelajaran yang lebih membumi dan sesuai dengan dunia kerja, kita perlu memberikan acungan jempol. Bagi yang belum, pelan-pelan kampanye yang terus menerus, termasuk pada blog ini, semoga bisa memberikan inspirasi bagi guru dan pendidik. Hambatan tentu ada. Akan tetapi, dengan niat yang tulus untuk menghasilkan generasi yang lebih baik, mari kita mulai. Bismillah. (Hery Azwan, 7/2/2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar